Arsip untuk Oktober 6th, 2009

06
Okt
09

Jenderal Soeharto Menggugat

Soeharto

Aku ingin memberikan yang terbaik untuk negeriku, tetapi pada kenyataannya akulah orang yang paling banyak mendapat “mendali hujatan” dan “tanda bintang kejahatan” di pundakku. Aku selalu dicap sebagai biang kerok segala kerusakan yang terjadi di negeri ini.

Banyak hal yang menjadi sorotan sejak aku meniti karir di militer sampai aku menjadi Presiden, dan yang tertuang dalam gugatan sejarah ini hanya beberapa bagian dari dari kesalahan yang dibebankan kepadaku dan dianggap akulah satu-satunya yang bersalah sementara yang lain putih bersih.

–          Peristiwa penyelundupan peralatan TNI AD.

–          Peristiwa G30S PKI

–          Turunnya Supersemar

–          Penembakan Misterius.

Dalam perjalanan karierku sebagai seorang tentara aku pernah tersandung kasus penyelundupan peralatan TNI AD. Kasus itu benar-benar ada dan bukan rekayasa sejarah. Yang menjadi permasalahan adalah semua orang menghujatku karena aku mampu menghindar dari sanksi hukum yang sebenarnya harus aku terima. Aku seharusnya telah masuk penjara, dan dikeluarkan atau dipecat dari dinas TNI AD. Semua mennghujatku, tapi ada satu hal yang mereka lupakan. Pada saat kasus tersebut mulai ditangani aku sudah tidak punya kekuasaan apa-apa lagi selain mengajukan pembelaan diri, dan itu suatu hal lumrah dalam dunia hukum. Seorang terorispun berhak melakukan pembelaan diri baik secara langsung maupun melalui seorang pengacara. Dan usahaku berhasil, aku tidak dipenjara ataupun dipecat dari dinas TNI. Aku boleh dihujat, tetapi seharusnya para Oditur Militer yang menangani kasusku juga dihujat. Dalam tim Mahmil ada Letjen. DI. Panjaitan, mengapa tidak engkau hujat dia karena telah melepaskanku. Bagaimana dengan Jenderal A. Yani dan Jenderal Nasution selaku atasanku pada saat itu, mengapa mereka tidak mengambil langkah agar aku dapat dikeluarkan dari dinas TNI. Dan bagaimana juga dengan Presiden Soekarno selaku Panglima Tertinggi ABRI. Seandainya mereka mengambil langkah yang tegas pada saat itu atau bahkan menjatuhi aku dengan hukuman mati, tentu sejarah akan berkata lain. Mungkin tidak akan terjadi G30S PKI dan takkan pernah ada Supersemar. Tapi pernahkah ada hujatan serta cacian terhadap May.jend. DI. Panjaitan, Jend. A. Yani dan Jend. Nasution atau bahkan  terhadap Presiden Soekarno selaku Panglima Tertinggi ABRI karena telah meloloskan seorang penyelundup seperti aku. Tidak ada, sekali lagi tidak ada. Mereka semua dianggap bersih dan putih, hanya Jenderal Soehartolah yang hitam dan kotor.

Peristiwa G30S PKI. Peristiwa tragis ini benar-benar menjadi beban serta warisan sejarah hitam dalam perjalan hidupku. Semua orang terheran-heran dan memandang sebagai suatu kejanggalan karena aku terlepas dari daftar Jenderal yang tersingkirkan (terbunuh). Sebagai Pangkostrad seharusnya aku juga bagian dari target pembersihan waktu itu. Satu hal yang perlu dicatatat disini adalah, pada saat aku menjabat sebagai Pangkostrad lembaga ini baru terbentuk sehingga belum memiliki pengaruh besar dilingkungan TNI AD, kondisi Kostrad pada saat itu tak lebih dari penampungan anggota TNI AD kelas dua. Tak heran apabilabila pada saat itu aku termasuk Jenderal yang tidak diperhitungkan. Berbeda dengan kondisi saat ini, dimana jabatan Pangkostrad merupakan jalur licin menuju puncak pimpinan AD bahkan Panglima ABRI.

Kembali pada masalah G30S PKI, ada beberapa pengamat yang menyebutkan bahwa peristiwa itu timbul dari konflik intern AD. Andai analisa itu benar maka pertanyaannya adalah siapa saja orang yang berperan dilingkup TNI AD. Disana ada Jenderal A. Yani juga Jenderal Nasution. Keduanya lebih memiliki peluang untuk maju sebagai orang pertama di negeri ini. Bukan Soeharto, karena dia hanya seorang Panglima dari pasukan cadangan yang tidak diperhitungkan.

Aku juga dituduh melakukan kudeta merangkak. Sekali lagi merangkak. Baik aku terima tuduhan tersebut. Bila itu disebut merangkak tentu memiliki makna sebagai kudeta perlahan-lahan. Disini dapat ditarik kesimpulan bahwa masih ada banyak waktu untuk menghentikan gerakanku. Mengapa Panglima Tertinggi ABRI dalam hal ini Presiden Soekarno  tidak mengambil langkah tegas. Tidak cukupkah sisa angkatan lain untuk menghancurkan kekuatanku pada saat itu, kemana AL dengan KKO nya, kemana Polisi yang waktu itu masih menjadi bagian dari ABRI, dan kemana kekuatan AU saat dibutuhkan oleh negara pada saat itu. Untuk menghancurkan aku dan pasukanku tak lebih dari menepuk seekor lalat. Panglima Tertinggi ABRI pada saat itu dapat segera mengeluarkan perintah untuk menangkap aku dan pasukanku. Mengapa sampai dua kali Presiden Soekarno melepasku dari sesuatu yang dianggap bersalah. Pertama disaat aku melalukan penyelundupan, kedua disaat aku melaksanakan kudeta merangkak (menurut orang yang membenciku), jawabnya “hanya aku dan Bung Karno yang tahu.” Dan itu tertutup rapat sampai masing-masing dari kami  menemui Sang Pencipta. Presiden Soekarno bukan type pemimpin yang tidak tegas. Tapi Beliau adalah seorang pemimpin yang kritis membaca situasi dan kondisi. Pencopotan Jenderal Nasution (walau akhirnya diangkat kembali) merupakan contoh dari ketegasan Presiden Soekarno. Kalau berbicara dendam terhadap Presiden Soekarno, maka seharusnya Nasution yang memiliki dendam terbesar, karena pernah dicopot dari dinas TNI oleh Presiden Soekarno.

Supersemar. Sebagian kalangan menyebutkan bahwa Supersemar ditandangani oleh Presiden Soekarno dibawah ancaman senjata api. Mari kita iris tipis-tipis masalah ini.

Pertama: Dengan asumsi bahwa konsep Supersemar itu dibuat olehku sehingga isinya banyak merugikan posisi Presiden Soekarno maka  perlu ancaman senjata api agar beliau memberikan tanda tangannya. Baik kita anggap itu benar. Yang menjadi masalah adalah: Mengapa keesokan harinya Presiden Soekarno tidak segera memberi pengumuman bahwa telah terjadi pemaksaan disertai ancaman senjata api terhadap Presiden RI yang dilakukan oleh utusan Jenderal Soeharto, dan segera ditindak lanjuti oleh pembentukan tim khusus yang terdiri dari beberapa Panglima Angkatan guna menangkap Jenderal Soeharto dan pasukannya. Bila langkah itu dilakukan maka selesailah cerita kehidupan Jenderal Soeharto, karena dalam waktu singkat tentu aku sudah dihukum mati dihadapan regu tembak.

Kedua: Bila konsep itu aku yang membuat dan isinya banyak berpihak kapadaku, kenapa aku harus memalsukannya serta menghilangkan Supersemar yang asli seperti yang dituduhkan padaku selama ini, toh di atasnya sudah ada tanda tangan asli Presiden Soekarno.

Kesimpulannya adalah: Aku tidak memalsukan Supersemar. Aku tidak memaksakan kehendak terhadap Presiden Soekarno. Isyu itu dihembuskan oleh mereka yang merasa ikut andil dalam proses berdirinya ORBA dan merasa tidak mendapat bagian apa-apa setelah ORBA berdiri tegak. Mereka beranggapan bahwa perjuangan sebagai proses membuat roti, dengan harapan setelah roti masak lalu diiris kecil-kecil untuk dibagikan kepada mereka yang merasa berjasa. Tidak, aku tidak suka cara itu.

Dan anehnya justru saat ini aku melihat hal itu dianggap sebuah kebenaran. Lihat saja mereka yang mendukung SBY dalam sebuah koalisi, saat SBY terpilih mereka semua antri untuk mendapatkan roti kekuasaan tanpa beban rasa malu sedikitpun. Mau jadi apa negeri ini bila kekuasaan telah dipandang sebagai “Roti.”

Penembakan Misterius. Jujur aku yang memerintahkan operasi tersebut. Aku sudah jenuh melihat Penegak Hukum yang sering melepas pelaku tindak kejahatan hanya karena uang suap yang diberikan oleh pelaku kejahatan. Ada uang perkara selesai, besok merampok lagi untuk mencari uang pengganti yang telah diberikan kepada para penegak hukum. Aku kira begitulah hitungan bisnis para pelaku kejahatan. Maka aku putuskan untuk tembak ditempat bagi para pelaku kejahatan. Dan untuk itu aku dihujat melanggar HAM. Oke aku terima. Tetapi apa yang telah dilakukan olek penegak HAM terhadap korban perampokan yang terkadang diikuti pemorkasaan. Apa yang dilakukan oleh lembaga penegak HAM terhadap anak yatim serta janda yang suaminya meninggal akibat perampokan. Saat itu HAM diam dan bungkam seribu bahasa. Aku bingung terhadap para penegak HAM, bahkan proses penembakan terhadap para pelaku tindak terorismepun dianggap melanggar HAM. Apakah para penegak HAM perlu merasakan ledakan bom dari teroris sehingga mereka dapat merasakan secara langsung dampak dari aksi teroris yang ada di Indonesia.

Rasanya sudah cukup aku bicara, aku sudah lelah dan biarlah sejarah yang mengkaji apakah Indonesia menjadi lebih baik atau lebih terpuruk setelah ditinggal oleh Soeharto yang sementara ini mereka sebut diktator, koruptor dan entah apalagi.




Aku menulis hanya sebatas nalar yang aku punya. Maka tak heran bila terkadang terkesan ugal-ugalan dan berbeda pendapat dengan anda. Salam: Ki Semar

Oktober 2009
S S R K J S M
 1234
567891011
12131415161718
19202122232425
262728293031